RINDU
Rindu
(1)
Si
bapak yang kurindu ini
kerap
dihujat kelompok mayoritas
bahkan
kalangannya sendiri.
Tapi
apa yang dilakukannya
kini
menjadi penghargaan terbesar bagi hidupnya
bahkan
jauh lebih besar daripada penganugrahan pahwalan nasional
yang
saat ini sedang diusulkan banyak pihak.
Ia
terus berupaya
meniarapkan
segala disparitas
ini
rangkanya dalam memanusiakan manusia
sebagaimana
fitrahnya manusia itu sendiri pada kehidupan.
Kau
yang kurindu
kusebut
pejuang sejati pada demokrasi
sang
bapak yang pluralisme
pembela
orang-orang termarjinalkan
pelindung
kaum minoritas:
agama,
gender, keyakinan, etnis, ras, dan bahkan posisi sosial
kau,
si tokoh antikekerasan
Ku
rindu Gus Dur.
Jakarta, 29 November
2016
(2)
Warisannya
terlihat menyeruak
sampai
saat ini,
dalam
demokrasi yang terus bergejolak
kini
ada tanya ataukah penyesalan dari kami
saat
kehidupan publik dan masyarakat tak sesuai
dengan
harapan yang melambung di tengah momentum demokrasi pasca dirimu turun
saat-saat
di mana keamanan dan kondisi lingkungan sudah tidak ada yang bisa menjamin
saat-saat
di mana harga BBM, listrik, beras dan makanan pokok terus naik
terlebih
saat pendidikan melambung tinggi
ada
kasta perbedaan yang tampak langit dan mana yang hanya butiran debu pada bumi
ketika
itulah, kami merindukanmu
tapi
bukan maksud mendewakan; Soeharto
bagaimanapun,
kau yang dipuja, kau yang dicerca, dan kini kau juga yang dirindu.
Jakarta, 30 November
2016
(3)
“Kita
hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan
buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi
‘semua buat semua’”. Katamu, dalam pidato lahirnya Pancasila.
Soekarno;
Si sosok, si pemikir, dan si penindak yang pernah lahir dalam dinamikan republik ini.
Lahir,
tumbuh, sebagai seorang nasionalis
mengahargai
perbedaan
suku
dan budaya baginya adalah pengalaman-pengalaman hidup
sejak
ia lahir, bahkan sejak meninggal.
Pemirikannya;
yang kini menjadi dasar Negara Republik Indonesia, Pancasila, menjadi bukti
nyata pluralisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
6
Juni 1901 di Surabaya
pada
saat fajar menyingsing
maka
itulah, ia disebut putra sang fajar
bintangnya
gemini, lambang kekembaran
Ia
turut memimpin kemerdekaan, hingga terbentuknya negara yang kaya raya ini
yang
kini sedang diributkan dan diperebutkan asing
Soekarno
yang pernah na’as; ia yang dibuang, diperas, ditendang dan dicampakan begitu
saja oleh penguasa hingga akhir menjelang. Politik kepadanya saat itu teramat
tendensius.
Realitas
dan rivalitas dihadapan si pendiri bangsa yang teramat kurindukan kehadirannya
kini. Penghormatan sekali lagi. Kau adalah orang luar biasa yang pernah
dilahirkan oleh ibu pertiwi.
Doakan
dalam tidurmu yang panjang itu;
Indonesia
semoga bisa terus beriwaba, seperti zamanmu
karena
kini usainya seperti hanya berkas dalam cerita
Jakarta, 1 Desember
2016
Biasakan Tulis Komentar Usai Membaca