Aku Melihat Masa Depan yang Indah Dari Mimpi Mereka
Seperti inilah nasib pendidikan anak-anak di Pulau Tegal
MENULISINDONESIA.COM – Aku yakin, ketika aku tiba di tempat ini, Tuhan sudah memberi kekuatan padaku untuk menjadi bagian yang diharapkan bisa memberikan akses harapan, dan mimpi kepada mereka.
Ya, kepada mereka, nasib anak-anak
Pulau Tegal. Pulau kecil yang ada di Desa Gebang, Kabupaten Pesawaran, Lampung.
Pulau yang belum banyak yang singgah, namun punya keindahan yang tak kalah
menakjubkan. Inilah Lampungku.
Pulau seluas ±98 Hektare ini dihuni oleh sekitar 30 kepala keluarga. Pulau ini
memiliki Topografi berupa pantai pasir putih yang landai (Bagian Barat, Selatan
Timur dan Utara) dan pantai berbatu (bagian Timur Laut, Tenggara, Barat Daya
dan Barat Laut). Wilayah daratannya berupa dataran hingga lereng bukit. Tapi
aku takkan bahas itu di bagian ini.
Yang akan
aku ceritakan adalah, bagaimana anak-anak yang menyambutku dengan riang. Seperti
suasana pantai yang lepas. Senyum mereka, penuh mimpi dan harapan. Semoga makin
banyak yang singgah ke tempat ini, lalu peduli, dan wujudkan mimpi mereka.
Dari Bandar
Lampung, saya bersama rombongan, dan rekan dari Pesawaran memang meniatkan diri
pada 2 Februari 2017, tepat usia saya seperempat abad atau 25 tahun, saya putuskan
pergi ke Pulau Tegal.
Menerawang
jauh. Itulah pikiran saya pertama kali. Bagaimana menggambarkan kondisi
anak-anak di sana yang katanya tak memiliki sekolahan. Memiliki bangunan. Tapi tak
ada tenaga pengajar. Anak-anak lulusan SD itu sudah menakjubkan. Bagaimana bisa?
15 menit dengan kapal, anak-anak di sana tak bisa tersentuh pendidikan. Bukankah
pendiidikan itu tugas dari kaum-kaum terdidik. Lalu, kemana kita selama ini? Kemana
pemerintah saat ini? Kemana pemerintah diwaktu lalu? dan kemana aku, kenapa
baru kali ini?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut pecah, menjadi air mata yang kutahan agar tak tumpah. Saat perahu
berhasil mendarat, anak-anak dengan baju lengkap dengan topi tanpa dasi, tanpa
sepatu, hanya kenakan sendal jepit menyambutku dengan rombongan. Air mata yang
ingin kutumpahkan tapi kutahan.
Anak-anak
tersebut menyalamiku. Aku hapal dengan Wahyudi dan Arief. Wahyudi yang paling
tua, dan badannya besar. Anak ini harus berjalan kaki berkilometer dari
rumahnya, meski satu pulau, membentang hutan. Anjing, babi, biawak, dan monyet
hutan seperti kawan. Ia tak takut. Apalagi setan. Karena hidup tanpa penerangan
itupun menjadi biasa. Dan dia baru kelas 2 SD, itupun baru akunya. Kesehariannya
adalah pengemudi kapal nelayan.
Lalu, yang
paling buat aku terkesima adalah Arief. Dia paling kecil. Tapi aktifnya luar
biasa. dia yang paling girang menyalamiku. Akupun gendong dia. Aku peluk erat tubuhnya.
Lucu dan menggemaskan. Aku jadi ingat, bahwa jika aku menikah nanti, aku rasa
aku bakal punya anak seperti Arief yang menggemaskan. Wajahnya mirip denganku
sewaktu kecil.
Sedangkan yang
lain masih tampak malu-malu menyambut. Inilah awalku melihat mereka di bibir
pantai yang biru, dan hijaunya hutan. Arief menemani perjalananku hingga menuju
ke suatu tempat yang disebutnya sekolah.
Setelah sampai,
ada dua kelas di lokasi yang kusinggahi. Satu kelas untuk kelas 1,2 dan 3 dan
kelas satunya untuk 4,5 dan 6. Entah bagaimana memetakan umur mereka. Tapi selama
ini proses belajar mengajar adalah hanya sebatas bisa membaca dan menulis. Bayangkan,
pentingnya literasi di bumi pertiwi ini.
Pak Basri namanya,
ia banyak bercerita denganku, sekedar menceritakan searah pulau dan aktifitas
anak-anak. Pas Basri ternyata hanya lulusan SD yang mengajar anak-anak di pulau
ini. Itupun tanpa dibayar. Hanya sekadarnya jika si bapak anak-anak punya uang
lebih untuk memberikan uang kepada Pak Basri.
Kembali pada
aktifitas belajar mengajar. Relawan di sini memang tidak bisa setiap hari
menyambangi Pulau Tegal. Namun, selalu diusahakan setiap minggunya. Bahkan,
relawan sedang mengupayakan ada beberapa anak bisa mengikuti ujian nasional. Meski
harus melalui jalur khusus. Termasuk Wahyudi. Ini agar Wahyudi dan kawan-kawan
punya izasah dan bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di
daratan. Semoga saja, kedatangan kita memotivasi mereka semua.
Karena memang,
anak-anak di sana sudah terbiasa sejak kecil bekerja. Ada yang sebagai nelayan,
buruh tani, sopir kapal, dan pembuat kapal. Sedangkan sekolah itu hanyalah
waktu luang.
Tak habis
pikir, yang saya sayangkan adalah ke mana kaum terdidik selama ini. Seperti saya
misalnya, kenapa baru datang kemarin tepat di usia saya 25 tahun. Terlambatkah,
tapi lebih baik dari pada tidak sama sekali.
Anak-anak
seperti mereka, yang harusnya belajar dan bermain, kini sudah menjadi
tulangpunggung keluarganya. Anak-anak seperti mereka punya mimpi yang luar
biasa. tapi tersekat oleh gelapnya wilayah. Anak-anak seperti mereka punya
harapan besar, tapi siapa yang mau menolongnya?
Saya masih
sangat ingat, melekat bahkan, ketika Arief dan kawan-kawannya ditanyakan soal
cita-cita. Ada yang mau menjadi marinir, tentara, artis, dan Arief sendiri
dengan polosnya ingin menjadi Belanda. Yang ia maksud adalah tentara atau
polisi berpakaian lengkap seperti di film-film, ya tentara Belanda. Katanya mimpi
itu karena pernah lihat film perang dan ada yang gunakan pakaian perang
Belanda.
Arief, dan kawan-kawan tetap tersenyum, belajar yang tekun,
kami usahakan terus menjadikan Pulau Tegal dikenal masyaraka dan membisiki
pemerintah agar memberikan pendidikan yang layak.
Kalian berhak mendapatkan pendidikan
yang layak dan sama dengan yang di kota. Kalian berhak adik-adikku. Doakan kakak
dan teman-temanya agar bisa menjadi penghubung bagi kalian.
Karena memang, kami berencana
membuatkan perpustakaan di daerah tersebut lengkap dengan gazebo jika orang
ingin berkunjung. Meski jauh dari kota, anak-anak harus membaca dan belajar,
agar kelak tidak ditipu orang-orang jahat. Setidaknya sekitar 50 juta sudah
kita hitung-hitung untuk membangun itu semua, dengan sitemasi wisata yang ada,
semoga bisa tercapai. Dan para pembaca mohon doanya.
Ayo bapak dan ibu koruptor, sadar
dong, lihat mereka. Jangan menjadi racun di negara ini. Uang nggak dibawa mati.
Jangan ribut kursi, istri, suami, dan perut yang takut gak berisi. Lihatlah mereka.
Seandainya mereka itu kita? bisa apa? Jangan rusak negara ini ya dengan rebutan
proyek atau memikirkan bagaimana korupsi. Kami mohon.... demi anak-anak bangsa
bisa sejahtera.
Karena pada dasarnya mendidik adalah
tugas dari kaum terdidik. Yang terdidik yuk jangan mikirin besok mau korupsi
apa, tapi pikirkan nasib adik kita ini dan mungkin masih banyak nasib adik-adik
yang lainnya di sana yang masih jauh dari kata layak.
Semoga...... niat baik kita,
bermuara indah.
Biasakan Tulis Komentar Usai Membaca