Cerita Singkat Tentang Keluarga, Duka Mengawali Suka
Menulisindonesia.com - Cerita
Singkat Tentang Keluarga ini berjudul Duka Mengawali Suka.
Ditulis Siti Fatonah - Guru SD Muhammadiyah Metro Pusat.
Salah
satu contoh cerita pendek atau cerpen tentang duka yang berujung suka atau
kebahagiaan.
Berikut
cerita singkat tentang keluarga tersebut yang bisa kita nikmati:
Duka Mengawali Suka - Cerita Singkat Tentang Keluarga
Cerita Singkat Tentang Keluarga |
Malam
itu, masih lekat dalam ingatanku. Seisi ruang keluarga beratap bambu begitu
hening.
Dinding-dinding reot rumah ikut mendengar
keputusan bapak yang tak mampu kutolak. Derai buliran air mengalir di sudut
kedua bola mataku.
Keputusan bapak tak bisa ditolak. Aku tidak
bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi begitu memukulku.
Keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi, tiba-tiba hilang dari harapku.
Bukan tanpa alasan bapak memutuskan hal itu.
Kesulitan ekonomi diawal krisis moneter yang dialami bangsa Indonesia, sangat
berimbas pada kondisi keuangan keluargaku.
Untuk membiayai pendidikan ketujuh anak,
bukanlah sesuatu yang mudah. Kedua kakakku yang lebih dulu kuliah, harus
menyelesaikan pendidikan.
Apapun konsidinya. Begitu keputusan bapak.
Sementara kakak ketiga dan aku, terpaksa harus mengubur asa melanjutkan
pendidikan ke jenjang perguruan tinggi.
Mengingat masih ada ketiga adikku yang harus
meneruskan pendidikan ke jenjang berikutnya. Apa mau dikata, keputusan bapak
harus aku terima.
Malam itu, kusimpan rapi ijazah dan danem
terbaik yang kuperoleh di Madrasah Aliyah Negeri di kotaku. Berharap suatu hari
kugunakan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Keputusan bapak begitu berat aku terima.
Keinginan menjadi guru matematika seketika kandas dalam asa. Hari-hari begitu
berat aku lalui.
Kepercayaan diri yang kumiliki selama ini
tiba-tiba luruh bersama terkuburnya keinginan untuk bisa kuliah.
Meski berat, aku harus belajar berlapang
dada. Menerima takdir tak mampu melanjutkan pendidikan.
Baca Juga: Kumpulan Puisi Dendam dan Amarah Jiwa
Cerita Singkat Tentang Keluarga |
Setiap hari, rutinitas yang kulakukan hanya
seputar memasak, mencuci, menyapu, membersihkan atap-atap rumah yang digelayuti
oleh sarang laba-laba, mencuci piring,
dan menyetrika.
Selain rutinitas tersebut, aku belajar
menyulam pada ibuku. Kegiatan menyulam membantuku menghilangkan keputusasaan.
Terus begitu. Setiap hari. Apa boleh dikata.
Selain menyulam, kegiatan lain yang tak
luput adalah membaca buku disunyinya malam. Tema-tema sejarah Islam yang aku
gandrungi menjadi bacaan wajib.
Bukan tanpa sebab. Hanya koleksi buku
sejarah Islam yang banyak dimiliki bapak. Tak apalah.
Dengan membaca buku-buku tersebut, wawasanku
bertambah. Selain buku sejarah Islam, novel-novel roman picisan menjadi buku
bacaan rutin menemani hari-hariku.
Meski untuk membacanya aku harus
sembunyi-sembunyi dari pengawasan bapak.
Beliau melarang kami membacanya, khawatir
berpengaruh buruk bagi perkembangan putra-putrinya.
Persis sembilan bulan berlalu. Harapan untuk
melanjutkan pendidikan makin jauh menghampiriku. Kondisi ekonomi keluarga kami
tak kunjung membaik.
Melihat mamak setiap hari memutar akal agar
anaknya bisa tetap makan membuat hatiku makin tidak tega.
Boro-boro untuk kuliah. Untuk makan
sehari-hari saja kala itu kami kesulitan.
Perasaan putus asa tidak bisa melanjutkan
pendidikan, tidak hanya terjadi padaku.
Kakak ketiga yang akrab aku sapa dengan
panggilan mbak, harus rela tak melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan
tinggi.
Sampai suatu hari, mbak memutuskan untuk
menerima pinangan pemuda desa yang amat mencintainya.
Diusianya yang kedua puluh tahun, ia
memutuskan untuk menikah dengan pemuda pilihannya.
Pernikahan mbak dilangsungkan cukup
sederhana. Menghadirkan seluruh kerabat bapak dan mamak dari berbagai daerah.
Tetangga kiri kanan turut berduyun-duyun
menghadiri pernikahan, mengingat mbak memang sangat dekat dengan masyarakat.
Pribadinya yang humble, membuat ia begitu
dekat dengan masyarakat sekitar.
Di antara kerabat yang hadir pada resepsi
pernikahan mbak, ada sosok yang perlahan mendekatiku.
Baca Juga: Puisi Tentang Perasaan Yang Terpendam Terbaik
Bagiku, ia tidak asing lagi. Sejak aku
kecil, sosok pria berbadan tegap itu begitu menyayangiku. Tepat di depanku,
sosok yang tidak lain adalah pamanku lirih berucap:
“Nduk,
apa kabar?”. Tanya paklek.
“Baik
Paklek,” jawabku tak kalah lirih.
“Opo
enggak pengin kuliah?” tanya paklek mengejutkanku.
Luapan emosi sekian bulan tersimpan,
yang selama ini membuat dadaku sesak, membuat air mataku mengalir deras.
Tak
menyangka, paman menanyakan hal tersebut. Seketika aku menangis. Merasakan
begitu dasyat pengaruh ucapan paman.
Ia
mampu membangkitkan keinginanku untuk kuliah dengan satu pertanyaan sederhana.
“Nduk,
kok ditanya malah nangis?” paman kembali bertanya.
“Ngih
Paklek, kulo pengin sanget kuliah, tapi bapak enggak punya biaya,” jawabku
sambil menangis.
Paklek berusaha menenangkanku. Memintaku
untuk segera menyeka air mata.
“Nduk,
tetaplah yakin karo seng gawe urip,” jelas paklek.
“Teruslah
berdo’a. Minta pada-Nya, apapun yang ingin kau minta. Setiap Allah kasih
kesulitan, Allah pasti memberikan kemudahan.” imbuh paklek.
“Bacalah
penggalan ayat tersebut setiap saat, terutama saat berdo’a, insyaallah hati
bapakmu terbuka,” terang paklek mengakhiri ucapannya penuh keyakinan.
“Ngih
Paklek, maturnuwun untuk nasehatnya,” jawabku singkat.
Tak terasa, senja datang. Resepsi pernikahan
mbak usai. Tamu undangan dari keluarga dan tetangga sekitar kembali ke rumahnya
masing-masing. Tak terkecuali paklek beserta keluarganya.
Gelaran resepsi pernikahan mbak, menjadi
titik balik kejumudan pemikiranku. Keputusasaan yang selama ini menghantui
pikiranku, tiba-tiba hilang karena pesan singkat paklek.
Keyakinan akan bergilirnya kesulitan menjadi
kemudahan meresap kokoh pada pikiranku.
Sejak saat itu, disetiap sujud, aku
bersimpuh lama. Memohon pada-Nya untuk membuka hati bapak, agar mengizinkanku
kuliah.
Tak
lupa lantunan ayat innama’al usri usro wa innama’al usri usro selalu kubaca.
Hari itu, selepas maghrib. Bapak
memanggilku. Seperti biasa, mamak selalu duduk disebelah menemani bapak, meski
hanya sekedar menemani minum kopi kesukaannya.
Aku mendekati bapak penuh ragu. Rasa takut
tiba-tiba membuat nafasku sesak. Khawatir bapak marah karena perilaku
keseharianku di rumah.
Baca Juga: Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Cerpen (Cerita Pendek)
Cerita Singkat Tentang Keluarga |
“Sini,
duduk dekat Bapak,” ujar bapak memintaku.
“Ngih
Pak,” jawabku singkat.
“Nduk,
masih pengin kuliah?” tanya bapak.
Seketika aku mendongak, mengangkat kepala
yang sedari tadi tertunduk. Terkejut bukan main mendengar pertanyaan bapak.
“Ngih
Pak, kulo pengin sanget kuliah,” jawabku.
“Ya
wes Nduk, daftar sana kuliah bareng Mas ama Mbakyumu di Metro,” terang bapak.
“Pak,
kulo kuliah teng Universitas Lampung ngih. Kulo pengin jadi guru matematika,”
pintaku pada bapak.
“Ora
usah nduk,” jawab bapak singkat.
“Kuliah
wae nang Metro, ambil pendidikan agama Islam, sok neng akhirat seng ditanya
malaikat iku shalatmu, bukan akar 25 ki piro,” imbuh bapak menjelaskan panjang
lebar.
“Bapak
mengizinkan kamu kuliah, tapi kudu neng sekolah agomo. Lek ora, Nduk ora usah
kuliah,” terang bapak padaku.
Begitulah bapak. Tidak banyak bicara. Apa
yang menjadi keputusannya harus disetujui oleh anak-anaknya.
Aku terdiam. Merenungi apa yang baru saja
bapak jelaskan padaku. Pada hakikatnya, menurut bapak, ilmu yang wajib dicari
di dunia adalah ilmu agama.
Kelak, ilmu agama akan mengarahkan manusia
pada jalan yang lurus. Ilmu agama membawa manusia mengenal tuhannya lebih
dekat.
Ilmu agama pula yang mengajarkan manusia
untuk mempelajari perintah dan larangan tuhannya. Begitu bapak menjelaskan padaku.
“Piye
nduk,” tanya bapak membuyarkan lamunanku.
“Arep
kuliah nang Metro opo ora?” tanya bapak mencoba menegaskan.
“Ngih
Pak,” jawabku.
“Kulo
purun kuliah teng Metro dan mendet jurusan PAI,” imbuhku meyakinkan bapak.
“Tidak
apalah, yang terpenting aku bisa kuliah,” bisikku dalam hati.
“Ya
wes. Siap-siap bulan depan daftar karo Mbakmu. Kuliah nang Metro sopo ngerti
ketemu jodoh nang kono,” jawab bapak sembari bercanda.
“Lek
nduk nang kene wae, engko gor ketemu jodoh tukang belet,” kata bapak lagi.
Baca Juga: Tips Agar Cerpen Menarik Untuk Dibaca
Rupanya, kini aku baru menyadari. Bapak yang
terkesan begitu kaku, setiap hari mengamatiku.
Bapak tahu betul bahwa putri keempatnya
ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah.
Sehingga walau kondisi keuangan bapak belum
juga membaik, melihat kesungguhanku, bapak memutuskan agar aku melanjutkan
kuliah.
Semua persiapan yang dibutuhkan untuk
mendaftar kuliah selesai kusiapkan. Ijazah, danem, fhoto, dan surat keterangan
berprestasi kusimpan rapi pada map folio.
Hari yang kunanti sejak lama, akhirnya tiba.
Setelah memenuhi serangkain syarat masuk PTAIN, aku dinyatakan lulus tanpa tes.
Berbekal ijazah dan nem terbaik hasil di
MAN, aku tidak perlu mengikuti tes tertulis maupun tes lisan.
Alhamdulillah. Aku menjadi mahasiswa. Proses
pergiliran kesulitan yang Allah SWT berikan, berganti kemudahan.
Duduk dibangku kuliah dan menyandang
predikat mahasiswa, mengembalikan kepercayaan diriku. Saat bertemu teman SMA,
aku tak lagi malu.
Dulu, saat tidak kuliah, bila bertemu
teman-teman SMA, aku memilih bersembunyi. Bukan tanpa alasan hal tersebut aku
lakukan.
Mereka sering mengejekku. Masak bintang
kelas enggak kuliah. Begitu mereka menghardikku.
Fase baru di bangku perkuliahan aku lalui.
Berkutat dengan mata kuliah, tugas mandiri tak membuatku puas begitu saja.
Untuk mengembangkan diri, aku bergabung
dengan organisasi kemahasiswaan baik intra maupun ekstra kampus.
Pergerakan mahasiswa tahun 1998 membawa arus
reformasi sangat menarik perhatianku.
Hunting buku, bedah buku, demonstasi,
diskusi, debat menjadi hal yang sangat aku gandrungi.
Entah berapa banyak kuhabiskan uang jatah
bulanan untuk membeli buku. Aku lebih memilih membeli buku dan rela makan
sehari satu kali, daripada tak memiliki buku yang aku inginkan.
Tak heran, jika buku-buku berjajar di ruang
belajar yang sekaligus menjadi kamar kostku.
Kegemaranku membaca buku seolah menemukan
muara. Koleksi buku yang setiap bulan kubeli, menjadikan hobi membacaku makin
merajalela.
Sepulang kuliah, aku lebih banyak
menghabiskan waktu di kamar kost sederhana milikku.
Baca Juga: Cara Mengirim Cerpen ke Media Cetak
Membaca lembar demi lembar buku yang sangat
memicu rasa penasaranku. Sembari membaca, aku selalu mencatat apa-apa yang
belum aku fahami pada kertas kecil.
Catatan-catatan kecil yang belum aku fahami,
keesokkan hari, aku tanyakan pada kakak-kakak senior di kampusku.
Rupanya, pertanyaan-pertanyaan yang kerap
aku ajukan pada kakak-kakak senior di kampus, mengundang perhatian beberapa
senior kampus di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM).
Karena sering berdiskusi, bertukar pikiran,
ketertarikanku tertuju pada kegiatan jurnalistik yang ada di kegiatan pers
mahasiswa kampusku.
Kebiasaan membaca dan menulis disepinya
malam sejak duduk dibangku sekolah menengah amat membantuku beradaptasi di
lingkungan pers mahasiswa.
Berbagai pelatihan jurnalistik kuikuti
dengan hikmat. Tugas-tugas reportase dan menulis laporan pasca peliputan
menjadi rutinitas tambahan selain berjibaku dengan tugas mandiri di bangku
perkuliahan.
Terjun ke daerah-daerah peliputan menjadi
pengalaman menarik yang sulit dilupakan.
Jauhnya jarak, terjalnya jalan, sulitnya
menembus narasumber, sampai berjalan kaki menjadi bekal tersendiri, kelak.
Yang aku yakin pada suatu saat, proses ini
akan menjadi bekalku saat terjun di masyarakat.
Sejak bergabung pada unit kegiatan pers
mahasiswa di kampus, hampir setiap hari setelah kelas reguler perkuliahan,
kuhabiskan waktu di maskas besar untuk membahas tema-tema yang akan dimuat pada
setiap penerbitan.
Unit kegiatan pers di kampusku memiliki
majalah yang terbit setiap semester. Majalah tersebut diberi nama Majalah Kronika.
Kronika merupakan akronim dari kreasi,
inovasi dan komunikasi mahasiswa. Kehadiran majalah Kronika diharapkan mampu
menjadi wadah mahasiswa berkreasi, berinovasi dan menjalin komunikasi pada
level kampus dan masyarakat luas.
Baca Juga: Cara Menulis Cerita Pendek (Cerpen) Bagi Pemula
Selain itu, majalah Kronika diharapkan mampu
menjadi media untuk menjalankan fungsi mahasiswa sebagai agen kritik, agen
perubahan dan agen kontrol. Selain juga sebagai sarana dakwah pada warga
kampus.
Berjibaku menyelesaikan tugas penulisan di
setiap rubrik majalah, secara tidak langsung memberikan bekal kemampuan menulis
padaku.
Tugas-tugas mandiri di kelas menjadi mudah
dikerjakan. Menulis skripsipun tidak lagi menjadi sesuatu yang sulit.
Rupanya, aktif di lembaga pers kampus,
manfaatnya langsung dapat dirasakan saat menulis tugas perkuliahan.
Disamping menjadi sarana mengembangkan
potensi diri, aktif pada kegiatan kemahasiswaan langsung dapat dirasakan
manfaatnya.
Menjelang masa purna sebagai pemimpin umum
di lembaga kegiatan pers mahasiswa, manfaat lain yang langsung aku rasakan adalah
bertemunya aliran hati pada muara kasih.
Kehadiran sosok pemuda berkulit putih,
berperawakan tinggi amat menarik
perhatianku. Sosok itu begitu dingin. Namun mampu meluluhkan sukma.
Tak ada lagi alasan bagiku untuk tidak
bersyukur. Dipenghujung masa perkuliahan dan diakhir masa purna sebagai
pemimpin umum, ketemukan satu muara kasih, tempatku bersandar hingga usia tua
menjelang.
Perkenalan itu begitu singkat. Mengikat dua
manusia pada janji suci sehidup semati.
Sehingga disuatu sore, saat mentari beranjak
dari peraduaan, bapak bernafas lega.
Kini, satu dari kelima putrinya,
menyelesaikan kuliah dengan predikat tercepat dan bertemu imam dalam hidupnya.
Saat itu, lirih bapak berpesan “Nduk, bapak
hanya mampu mengantarmu sampai jenjang strata 1.” Ucapnya sembari tertunduk.
“Bapak tidak mampu mengabulkan keinginanmu
ke jenjang strata 2. Esok, suamimulah yang akan membawamu ke jenjang itu,”
imbuh bapak mengakhiri perkataannya.
Baca Juga: Langkah-Langkah yang Harus Dilakukan Cerpenis Pemula
Itulah
cerita singkat tentang keluarga yang diceritakan tentang kedukaan dan berakhir
ke suka citaan.
Semoga
cerita singkat tentang keluarga ini menjadi cerita pendek yang menginspirasi
kita semua.
Terimakasih
sudah mampir dan membaca. Sampai bertemu di lain cerita. Salam.
Biasakan Tulis Komentar Usai Membaca