Cerpen Penyesalan Datang Belakangan
Menulisindonesia.com
– Cerpen Penyesalan. Sebuah cerita pendek
yang ditulis Ghaitsa Zahira Shaffa. Sebuah cerita remaja menarik.
Cerpen penyesalan ini ditulis Ghaitsa sesuai dengan
judulnya “Penyesalan” menceritakan kakak beradik yang nakal, dan memilih drop
out dari sekolah, lalu berada di jalan yang salah.
Sampai akhirnya tersadar dari bilik penjara dan
kehilangan kakaknya. Berikut kisah cerpen penyesalan yang inspiratif untuk bisa
kita pelajari dan nikmati sebagai bahan bacaan yang menarik.
Contoh Cerpen Penyesalan
Cerpen Penyesalan |
Di ruang kelas. Saat jam belajar Pak Rama, guru Bahasa
Indonesia.
“Duh, pusing gua denger tuh pak Rama ngomong,” Bima,
cowok dengan kaus pendek hitam berbisik kepada teman disampingnya –Juna.
“Kabur aja yuk.” Juna mengajak.
Tentu saja Bima setuju. Bima dan Juna, 2 murid paling
bandel di SMA. Keduanya itu bersaudara, satu keluarga. Notebane-nya anak
bandel. Dekat denga kelas 12. Rencanapun disusun.
“Ngapain tapi?” Bima bingung.
Juna berfikir sejenak. “Ngerokok maau?” Bukan main lagi
ajakannya. Bima pun semeringah tanda setuju. Keduanya pun mengatur akal
pikirnya untuk bisa izin keluar dari kelas.
“Pak.” Pak Rama yang sedang berbicara benrhenti. Menatap
Bima. Melepas kaca matanya. Menatap Bima lagi.
“Izin.” Bima langsung menyatakan maksud.
“Izin? Mau ngapain?” Tanya Pak Rama lagi.
“Boker.” Asal ceplos, Bima menjawab. Banyak siswa sisiwi
yang mendengar itu menahan tawa.
“Yasudah, 10 menit.”
“Tapi, gak janji, boker kan butuh ngeden.” Pak Juna
mengiyakan.
Belum selesai mengangguk, Bima kembali intrupsi untuk
mengajak Juna. Sementara Pak Rama memintanya untuk sendirian. Tapi Bima kembali
beralasan. “Nanti ada yang ngintip gimana? Harus dijaga atuh, tau sendiri WC
kita kagak ada kun...“
“Yaudah sana.” Sela pak Rama. Malas mendengar alasan
Bima. Semua guru juga tau, kalau begitu, pasti nyatanya mereka kabur.
Awas saja ada hukuman untuk kalian. Batin guru MTK itu. Bima dan Juna berjalan beriringan
menuju rooftop sekolah.
“Emang lo ada rokok?” Bima bertanya kepada Juna. Dengan
enteng ia mengeluarkan rokok dari sakunya.
“Gila lo, Bang Jia tau, lo kena ceramahnya lho, mampus.”
Jia itu kakak lelaki mereka. Pemilik watak jauh beda dengan adik-adiknya.
“Peduli amat. Nih...” Juna menyodorkan bungkus rokok pada
Bima.
Bima mengambil satu batang. Meminta gas, lalu mulai
menyapit batang itu dengan bibirnya. Asap mulai keluar. Dan tanpa diduga. 5
menit berlalu, seorang guru datang. Dengan langkah penuh amarah. Buru-buru Bima
dan Juna mematikan rokok. Saling rapat, lirik-lirikan, mewanti-wanti apa yang
akan terjadi.
“Ikut bapak keruang kepsek,” perintah guru yang terkenal
paling galak di sekolah itu. Sambil berkacak pinggang, beliau menatap Juna,
Bima bergantian. Kontan Bima serta Juna mendongak. Pak Andi bener-bener
cuman ngomong gitu? Kita gak disembur nih? Begitu maksud dari tatapan
keduanya.
Cerpen Penyesalan |
Guru bernama Pak Andi itu berbalik, pergi. Segera Bima,
Juna mengikuti, sesampainya di ruang kepala sekolah. Bima dan Juna disuruh
duduk berhadapan dengan pak Ismail –kepala sekolah mereka. Setelah Pak Ismail
mengucap terima kasih pada Pak Andi, Pak Andi keluar dari ruangan. Menyisakan 3
ornag didalam.
“Juna, Bima.” Pak Ismail menatap 2 bersaudara itu
bergantian.
“Ini sudah ke lima kalinya kalian kepergok mero-“
“Iya, emang udah lima kali, lebih malahan, terus? Bapak
mau ngeluarin kita? Keluarin aja. Emang junga siapa yang mau sekolah disini?” Satu
kata buat Juna. Nge. Lun. Jak.
Sebenarnya Bima setuju, tapi itu tidak sopan.
Pak Ismail geleng-geleng kepala sebentar, mencba sabar. “Iya,
bapak mau mengeluar-“
“Oke,” Juna berdiri tiba-tiba. Ia melirik Bima yang masih
duduk. Bima tak mengerti.
“Pegi yuk.”Ajak Juna.
Kening pak Ismail mengkerut. Berani kali ni anak. “Juna,
hendak kemana kamu? Bapak belum sel-“
“Mau pergi lah pak. Bego ya? Tadi kan bapak yang suruh,
aneh.” Pak Ismail ikut berdiri. Raut mukanya berubah, beliau marah. “Tapi bapak
belum selesai Juna.” Penuh penekanan pak Ismail bicara.
Tapi Juna tak peduli. Ia malah menyeringai merendahkan. “Gak
perlu dilanjutin, yang penting saya tau intinya, panas kuping saya dengernya,
bapak sih lelet ngomongnya, kek pengumuman orang mati di mesjid.”
“JUNA!” Bentak pak Ismail.
“Apa pak? Nih..” Juna membuka satu persatu kancing baju
OSIS-nya. Lalu mencopotnya, memperlihatkan kaus pendek hitamnya.
“Nih pak, seragam saya, saya copot. Berarti saya resmi
bukan anak sini lagi, puas kan?” Ia melempar seragam itu ke atas meja. Lalu
menoleh pada Bima.
“Ayo, gua tunggu di parkiran.” Bima melongo tak percaya.
Menatap Juna yang sudah keluar dari ruangan. Tak peduli dengan pak Ismail yang
terus memanggilnya. Lelah meneriaki, ia beralih tatap menatap Bima.
“Heh kau Bima.” Bima mendongak. “Tak lelah tah kau punya
saudara seperti dia?” Bima berfikir sejenak. Lalu menggeleng. Menandakan ia
menegaskan kata tidak, ia tidak lelah.
“Ah iya, bapak lupa, perilaku kau sama saja dengan dia.
Sana keluar kau.” Segera Bima patuhi itu. Ia mengangguk sekali sebelum
melenggang pergi.
“Lama banget sih lo.” Cibir Juna saat melihat Bima
berjalan mendekatinya.
“Biasa, denger ocehan tuh bapak tambun.”
Juna menahan tawa. “Tambun? Kurus gitu, bego lo.”
Baca Juga: Kirim Naskah : Cara Mengirim Naskah Novel Lewat Email
Setelah mengenakan helm, Bima naik ke motor, duduk di
belakang Juna. “Salut gua sama lo tadi,” di tengah perjalanan mereka menuju
rumah, Bima memuji.
Juna menyeringai tipis. “Siapa dulu, Juna gitu lho.” Juna
membanggakan dirinya.
“Btw, kok lo dari tadi diem sih diruang kepsek?” Tanya
Juna.
“Kalo sama kepsek gua kurang berani.”
“Cemen lo.”
Beberapa menit kemudian, keduanya telah sampai di depan
rumah. Bima turun pertama kali sambil melepas helm. Diikuti Juna.
“Juna, Bima.” Suara tegas nan dingin itu milik sang
kakak, Jia. Bima serta Juna menoleh, memberhentikan langkah.
“Abang dengar kalian dikeluarin?”
Juna menjawab lantang. “Iya, terus kenapa? Lo gak suka?”
“Ya iyalah, kalian sudah besar lho.”
“Kata siapa kita kecil?”
“Juna! Bisa gak sih gak usah jawab dulu?” Bentak Jia.
Juna diam, Jia melanjutkan. “Kalian inget dong, hidup
kita itu susah, sekolah itu mahal, jangan di sia-siain, sayang. Abang udah
susah-susah cari uang, kalian malah-”
“Kalo gak ikhlas cari duit buat kita ya gak usah cari.” Kali
ini Bima yang membalas. Ia maju beberapa langkah ke Jia.
“Abang cuman mau ngingetin, jangan sampai hidup kalian
akhirnya cuman ada penyesalan. Demi Allah, abang ikhlas.”
“Persetan! Mati aja lo sana!” Bima mendorong kasar Jia,
hingga ia terjatuh.
Di belakang, Juna tersenyum puas. Coba lo pas di ruang kepsek kek gini. Dan setelah itu semua. Dimulailah hidup Juna dan Bima yang penuh kebebasan. Mereka lupa segalanya, temasuk Allah. Tuhan mereka.
Di belakang, Juna tersenyum puas. Coba lo pas di ruang kepsek kek gini. Dan setelah itu semua. Dimulailah hidup Juna dan Bima yang penuh kebebasan. Mereka lupa segalanya, temasuk Allah. Tuhan mereka.
“Woi kalian gak mau nambah minum?” Sambil mengangkat
botol alkohol-nya yang sudah kosong, Bima menawari.
“Gila lo Bim, sini, ikut maen aja.” Salah satu cowok yang
sedang asik bermain judi itu, menawarkan balik.
Selalu begitu saja hidup mereka. Pulang malamlah, malah
sampai lupa dengan Jia yang sudah bekerja keras. Hingga suatu hari, Jia jatuh
sakit, saat menjalani shalat shubuh. Bima yang sedang mau meminta uang pada Jia,
langsung tersentak melihat sang kakak yang sudah terkapar di lantai di atas
sajadah.
Baca Juga: Cara Mengirim Cerpen ke Media Cetak
Cerpen Penyesalan Datang Belakangan |
“Jun! Cepet ke sini woy!”
Juna buru-buru mendatangi Bima. “Ngapa si- Eh? Bang Jia
ngapa?” Juna ikut mendekati Jia. “Telepon ambulan sana lo.”
“Oke oke, bentar.” Kedua ber-saudara itu akhirnya duduk
berdua di ruang tunggu. Jia dirawat.
Sebenarnya, Bima juga Juna tak peduli dengan Jia,
masalahnya, uang. Mereka butuh uang. Malam ini mereka sudah berjanji untuk
kembali berjudi. Dengan membawa uang seadanya, Bima dan Juna datang ke tempat
perjudian. Banyak yang protes. Tapi Juna bilang kalau ia akan menambahkan
nanti. Hasilnya keduanya kalah, Juna tak terima, berubung ia tak punya uang. Ia
menggebrak meja.
“Cabut Bim, cepet!” Keduanya pergi. Seluruh pemain judi
berorak memanggil Juna juga Bima, mengejar keduanya. Beruntung, mereka selamat
dari kejaran.
Setelahnya, mereka mulai frustasi. Tak punya uang. Jia
masih sakit, belum dapat bekerja. Hingga mereka memutuskan untuk melakukan
perbuatan yang berdosa. Sesuatu yang akhirnya akan membuat hati mereka penuh
dengan rasa sesal.
Mereka akan mencuri. Di tengah gelapnya malam. Mereka
memulai aksi. Keduanya berhasil masuk kedalam sebuah rumah. Rumah itu nampak
ditinggal sebentar oleh pemilik. Membuat Bima dan Juna mudah untuk mengambil
semua benda berharga di sana.
Tanpa diduga, pemiliknya datang. Tentu saja Bima dan Juna
yang belum sadar dengan kedatangan pemilik rumah kepergok. Mereka sempat
melawan saat diserang. Tapi apa daya, walaupun cuman dua orang lelaki biasa,
kekuatan mereka lebih dari 2 bersaudara itu.
Berakhirlah keduanya di dalam sel. Terkurung bersama
narapidana yang lainnya. Dan di sana juga mereka mendapatkan cahaya ilahi.
Mereka bertaubat di sana, hingga waktu hukum mereka habis.
“Bima, Juna, mbak sama yang lainnya teh turut berduka
ya.” Tepat saat keduanya tiba, rumah mereka terlihat ramai. Itu tadi mbak
Raisa, tetangga mereka.
Bima dan Juna saling tatap, heran. Ada apa? “Mm, itu,
Jia, Jia teh sudah meninggal.” Ragu-ragu mbak Raisa memberitahu.
Tertohok sudah hati keduanya. Gemetar sudah tubuh
keduanya. Baim geleng-geleng kepala, tak percaya dengan fakta itu. Segera
keduanya masuk kedalam rumah. Dan benar saja, ada jasad Jia yang sudah
terkafani dengan rapi.
Kata-kata Jia benar. Hidup mereka akhirnya berakhir
dengan penuh rasa sesal. Keduanya menyesal, menangis, meminta maaf pada Jia.
Walau mereka tau itu terlambat.
Itulah contoh cerpen penyesalan yang menarik untuk kita
baca. Semoga cerita pendek ini dapat menginspirasi kita untuk tetap berbuat
kebaikan.
Semoga bermanfaat. Terimakasih. Salam.
Biasakan Tulis Komentar Usai Membaca