Contoh Cerpen Terbaik, Singkat dan Menarik 2019
Contoh Cerpen Terbaik : Judul Pemberhentian | www.menulisindonesia.com - Ilustrasi : Pixabay.com |
Menulisindonesia.com – Contoh Cerpen Terbaik berikut ini
adalah salah satu jenis kumpulan cerpen singkat dan menarik untuk kita baca.
Salah satu contoh cerpen terbaik 2019 yang mengandung
unsur unsur intrisik. Meski buka cerpen singkat lucu, namun lebih kepada cerpen
terbaik tentang kehidupan yang sedih.
Sebuah gambaran contoh cerpen terbaik yang mampu
melukiskan sebauh rasa dan persaaan.
Judul contoh cerpen terbaik ini adalah Pemberhentian.
Sebuah kumpulan cerita pendek dari kelas menulis Yuk Menulis Indonesia.
Pengemasan cerpen berjudul pemberhentian karya Desma
Hariyanti ini adalah salah satu contoh
cerpen terbaik yang bisa kita simak dan dinikmati.
Berikut contoh cerpen terbaik karya Desma Hariyanti
berjudul Pemberhentian:
Pemberhentian, Contoh Cerpen Terbaik 2019
Contoh Cerpen Terbaik - www.menulisindonesia.com | Ilustrasi Pixabay.com |
Sopir mobil online itu menatapku, ramah. Senyum sesaat,
kemudian mengonfirmasi pemesanan. Aku masuki kendaraan putih itu dengan tenang,
meskipun pikiran masih kacau. Pertemuan terakhir dengan sesosok yang masih melekat di pikiran.
Kalau bukan karena ia yang begitu khusus, tentu tak ada lagi alasan.
Ya, tepat sekali. Wajahnya yang istimewa, meraupkan rindu
pada detik ke sekian bayang itu melintas. Tutur santun, langkah santai,
menjadikanku merasa penting untuk memperhatikannya. Tatapnya yang tajam,
merenyuhkan hati sang
pemandang. Untuk kali ini, masih kubiarkan segala kenang tentangnya menari - nari
di benak. Untuk esok, belum kurencanakan.
“Mba, tempatnya yang ini, bukan?”
Lamunanku tersentak. Menoleh ke seluruh sisi jendela
mobil. Belum pernah datang ke tempat ini sebelumnya. Hanya melihat di beberapa
foto yang dipublikasikan melalui media sosial. Mengamati sejenak, sepertinya
benar. Ada tulisan “Aura Book & Coffee” di kaca jendela bening yang besar.
Dari luar pernak pernik perabotan di dalam ruang dapat terlihat. Meja kayu yang
klasik, juga kursi santai, memaksa mata untuk melihat ke seluruh sisi.
“Iya, Pak. Terimakasih sudah mengantarkan saya.”
Tepat di depan pintu, aku mendongak ke atas. Tiga
lantai, sungguh tempat yang megah untuk sebuah pertemuan. Desain modern,
seperti berada di kehidupan kota nan riuh. Bangunan berdiri kokoh. Padat,
dengan para gedung lain yang juga tumbuh beriring waktu. Begitulah perkotaan,
bangunan lebih sering meninggi, ketimbang melebar ke samping. Sudah tak ada
lagi lahan. Kalaupun ada yang menjual, harga melangit.
‘Aku sudah sampai, Kakak di
mana?’
Kukirim pesan kepada sesosok, yang namanya tertulis di HP.
‘Di hatimu.’
Nah, ini yang menambah kacau pikiran. Sejak kapan ia
menjadikan hatiku hunian? Apakah ia sudah miliki Hak Izin Huni?
Kulanjutkan langkah. Sang pelayan tersenyum. Itu adalah
sapaan. Orang Indonesia memang layak mendapatkan gelar negeri yang penduduknya
ramah. Pada kenyataannya memang begitu.
Pandangku langsung tertuju pada anak tangga. Di
sebelahnya terdapat beberapa toples pajangan biji kopi. Melihatnya memunculkan
kenangan lagi tentang sesosok, dan aku kian sesak.
*
Desember 2018
“Ira, atas izin Tuhan kita bertemu di sini. Mengapa
masih mencoba lari?”
Ada debar yang kucoba meredam. Gelisah dan gembira
bercampur, hingga tiada jelas pada perasaan apa muaranya. Yang pasti,
pertanyaan tak perlu lagi diucapkan. Ini benar sosoknya. Sosok yang selalu
ingin kuhindari, namun juga ingin kutemui.
“Aku tidak lari.”
Jawabku singkat. Lidah tak dapat sampaikan pesan
sempurna. Beban di hati tetap mengendap.
“Menghindar? Sembunyi? Atau apalah sebutan yang
menurutmu tepat, berikan sekarang alasan.”
“Aku sakit.”
“Iya. Sakit jiwa tepatnya.”
Kubalikkan badan. Sudah cukup pembahasan runyam tentang
masa lalu. Seperti ingin menutup buku sejarah yang muram, aku meninggalkannya.
Dengan sigap tangannya meraih lenganku. Terhenti langkah, kemudian ia berdiri
tegak di hadapanku. Hanya terlihat sebatas dadanya, harus mendongak jika ingin
melihat wajah seorang dokter di hadapanku.
Biasanya kaca mata sudah terpasang melapisi kedua bola
mata. Tapi, kemarin kaca mata itu terjatuh, saat ia tengah mengobati para
korban. Tanpa sengaja ia menginjak. Remuk. Belum sempat ke optik untuk membuat.
Ia tak punya kaca mata cadangan. Setiap barang yang ia miliki, hanya berjumlah
satu. Sepatu, tas, jaket, semua hanya satu. Seluruh pembelian barang diseleksi
berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan. Itu sebab, kesuksesan mengalir dalam
hidupnya.
“Ira, kau memang pengecut.” Aku menunduk saja kala itu.
“Kau lihatlah orang lain. Melanggar adat menurutmu. Itu
hanya dalam pikiranmu saja, Ra. Toh yang lain juga bisa melanggar. Jadi ini
sebenarnya pilihan yang semua tergantung padamu.”
Ia berdiri di sampingku. Ombak masih sedikit memberi
kejutan. Namun sudah mulai ramah. Sesekali mengantarkan gelombang ke tepian.
Jika kejadian Tsunami adalah semalam, maka bisa jadi kami telah hilang nyawa
dengan sekejap.
“Kalau kau mau memperjuangkan apa yang selama ini kita
teguhkan, maka aku akan tegak juga melangkah.”
Aku kembali tertunduk. Sebenarnya keraguan ini tercipta
setelah pertemuan dengannya. Siapa yang menduga, tsunami selat Sunda ini malah
mempertemukan kembali dengan dr. Ahmad. Sosok yang masih berkeliling dalam
pikiranku. Sebelumnya sudah kuputuskan untuk melupakan. Hati sudah kuikhlaskan
berongga. Terlalu dalam sayatan tercipta. Mengobatinya perlu waktu lama.
Baca Juga Contoh Cerpen Terbaik Tentang: Cerpen Dongeng : Gajah dan Semut
Ilustrasi Contoh Cerpen Terbaik - Menulisindonesia.com | Ilustrasi : Pixabay.com |
“Sejak keputusanmu waktu itu, aku menjadi sosok yang
kaku, Ra. Melangkah, ragu. Berencana, hanya sebatas catatan. Andai saja ada
temanku berbincang, dan sangat kuharapkan teman itu adalah engkau, mungkin aku
bisa lebih tangguh dalam juang. Kau tahu, bahkan dalam berbuat sesuatu pun kini
aku merasa goyang. Asing dalam dunia yang pernah kumiliki. Asing pada
kemerdekaan yang pernah kugenggam.”
“Bukankah sudah jelas jalan yang kita sepakati?”
“Ini bukan tentang jelas atau tidak, Ra. Ini tentang
kengerian yang sudah kau ciptakan.”
“Maaf…”
“Sebenarnya bagaimana hatimu, Ra?”
“Entahlah…”
“Kau muncul bak lentera hari ini, Ra. Meskipun bagiku
tak mungkin memintamu kembali. Masih ada kusisipkan harapan pada Tuhan. Semoga
aku bisa menculik rembulan, meskipun hanya semalam.”
“Kau bisa minta apapun pada Tuhan.”
“Iya, dan aku takkan melepaskanmu untuk kedua kalinya.”
Kemudian dalam hening kulintasi senja terakhir bulan
itu. Bersamanya, di hamparan pantai Kalianda yang sudah porak poranda diterjang
Tsunami beberapa hari lalu. Hanya
puing yang menjadi penanda, bahwa beberapa bangunan kokoh pernah berdiri di
sana.
Tak perlu bertanya ataupun menjawab. Mungkin seperti
itulah kedamaian. Definisi dalam kertas adalah yang dimengerti sedikit orang.
Sedangkan pemahaman dalam diri, hanya hati yang bisa menerjemahkan.
“Sofia membuatkan gelang ini untukku.”
Sofia, adalah gadis kecil yang patah kakinya, akibat
musibah tempo hari. Baru duduk di kelas 1 SD. Orang tuanya belum diketemukan.
Setiap malam doanya selalu berlumur tangis. Meminta kepada Tuhan, agar bisa sua
kembali. Dan harapan itu juga kumunculkan, termasuk dr. Ahmad. Terkadang Tuhan
sisipkan kisah – kisah keajaiban setelah musibah besar. Terlalu sering
demikian. Bayi yang selamat, nenek – nenek yang selamat, bahkan mungkin seekor
kucing pun selamat.
“Gelang dari tali bambu
diikat kelabang. Kutitipkan padamu. Sebagai ikatan awal. Sepulang dari tugasku,
akan kutemui engkau dengan ikatan yang serius. Kau tahu apa artinya itu?”
Aku tersipu malu. Di pikiranku berlapis – lapis
perdebatan muncul. Pemberontakan kacau yang akan menambah semrawut urusanku.
Dalam hati bergejolak. Andai aku turuti perkataan Emak untuk tidak menjadi
relawan di sini, mungkin aku takkan bertemu dengannya. Namun, aku juga tak bisa
membunuh naluriku untuk mendekap bocah – bocah kecil yang kehilangan senyum
mereka.
Kusimpulkan ini adalah takdir. Bahwa dalam beberapa
waktu ke depan, sudah harus kusiapkan, seperangkat penjelasan tentang perasaan
kecil yang mungkin harus kupertahankan, di hadapan keluarga besar. Untuk
keberlangsungan hidupku, juga sosok itu. Sosok yang menjadi kacau karena telah
kubawa pergi separuh jiwanya. Sehingga limbung kerangka dalam tentukan langkah.
Harus kusiapkan alasan cinta yang sangat dipandang remeh
oleh kaum tua. Namun akan lebih dramatis jika kupautkan takdir Tuhan di sini.
Bukankah pertemuan ini juga kehendakNya?
Baca Juga Contoh Cerpen Terbaik 2019: Cerpen Tentang Liburan - Berlibur ke Pulau Bali
*
Langsung meniti tangga. Hadir di lantai 2 menjumpai
ruang lepas tanpa dinding. Kupilih meja kursi di pinggiran. Hingga pandangku
bisa lolos ke luar. Ruko - ruko di depan hanya terlihat atap. Kubah masjid di
sebelah kiri megah. Seperti arsiran buah nanas. Miring segiempat, bentuk
ketupat. Kombinasi hijau kuning. Di hadapanku ada lahan kosong berpagar beton. Pada
akhirnya tetap saja aku sendiri dalam pemberhentian ini.
“Ira.”
Aku mendongak. Wanita berseragam polisi itu tersenyum
ramah. Rambut lurusnya pendek tepat di bawah telinga. Bahunya tegak. Kewibawaan
yang tetap membungkus keanggunan.
“Maaf, saya baru bisa menemuimu sekarang. Sangat berat
untuk hadir di sini. Bukan karena takut menemuimu, tapi lebih karena tidak
kuasa, untuk kembali mengenang Ahmad.”
Ia menyeka airmatanya. Tetiba saja mengaliri wajah
putihnya yang halus. Ia mengeluarkan satu buku dari tas yang sejak tadi
dijinjingnya.
“Sebaiknya ini kuserahkan padmu, Ra. Kamu harus baca.
Sepertinya ia ingin mendiskusikan buku ini suatu hari nanti. Entah kapan. Yang
pastinya itu tidak akan mungkin terjadi.”
Terisak ia menyampaikan. Disekanya kembali air mata.
Reflek kugenggam jemari wanita itu. Kupandangi bahu tegaknya merapuh dalam
tangis. Seolah ia tumbang dalam ketangguhan yang ia pertahankan. Aku duduk di
sampingnya, memeluk kerapuhan yang tak lagi terbendung.
“Ikhlaskan dia, Kak Nisa.” Ucapku sembari mengusap
punggungnya.
“Astaghfirullah…”
Dalam isak masih kudengar dzikir berulang dari bibirnya
yang gemetar. Aku terenyuh, kepergian seseorang memang menyisakan kesedihan
mendalam bagi yang ditinggalkan. Namun di sisi lain, menandakan bahwa telah
tuntas tugasnya di muka bumi, dan yang pasti Allah lebih sayang.
Kurasakan airmata juga menggenangi wajahku. Air mata
yang sejak tadi kupertahankan, agar jangan lagi terbuang. Bukankah sudah
berhari – hari aku bermandikan tangis? Saat nama itu terlintas, wajahnya
tersenyum biasa, dan perlahan hatiku menganga. Ia telah menusukkan jarum di
ujung jemari begitu dalam, hingga tembus ruas - ruas, kemudian menariknya
perlahan. Sampai ia menghilang, bersama sakit yang membekas. Di ujung jemari,
dan juga di ujung ruang hati. Aku kembali berrongga. Sungguh, separuh hati
telah dibawanya pergi.
Baca Juga Contoh Cerpen Terbaik Singkat: Contoh Cerita Pendek 500 Kata
*
Kak Nisa, kakak dari almarhum dr. Ahmad, menemuiku untuk
menyerahkan buku “Ground Zero”. Pesan yang kuingat sebelum ia beranjak pergi.
“Hidup harus berlanjut, Ra. Tolong maafkan
kesalahannya.”
Aku mengangguk. Kulepas kepergian Kak Nisa. Dari atas
terlihat sedan hitam itu menjauh. Tempat ini masih sepi.
Suara riuh terdengar di bawah sana. Sepertinya memang telah Tuhan siapkan
tempat khusus untukku di sini. Kubuka dua halaman terakhir buku itu:
There are those who
live, but are dead.
There are those who
are dead, but will always live.**
Seperti menusuk jantungku. Dua
pekan kepergiannya, masih belum beranjak lara jiwa. Mungkin perlu puluhan
purnama, untuk berangsur kulerai ragam kenang bersamanya. Ragam kenang yang
sempat kuingkari, kemudian kini kuakui. Aku rindu.
Baca
Juga Contoh Cerpen Terbaik Liburan: Cerpen Liburan Bersama Keluarga Yang Mengesankan
Ilustrasi Contoh Cerpen Terbaik 2019 |
Itulah beberapa hal yang bisa ktia ketahui, kita nikmati,
kita baca, dan kita pelajari tentang salah satu contoh cerpen terbaik di 2019
ini.
Semoga cerita pendek terbaik berjudul Pemberhentian ini
menjadi inspriasi kita untuk semakin minat membaca dan ikut berpatisipasi dalam
memberikan bahan bacaan yang baik.
Biasakan Tulis Komentar Usai Membaca